Pengen Masuk TK tapi Malah Dimasukkan TPA


Sambil bercermin kami melirik wajah satu sama lain, nyaris tak ada perbedaan kecuali tahi lalat di ujung mata kiri bagi Dina. Kami sisir rambut yang masih basah itu sembari melihat seragam biru tak berlengan dengan begitu girangnya. Sebuah logo bertuliskan sekolah Taman Kanak-Kanak di dada kiri seolah membuat kami bangga bahwa kami akhirnya masuk TK juga. Meski senyum dan lompatan kecil khas kanak-kanak hanya sebentar, tapi kami ingat betul betapa masuk TK adalah salah satu yang kami impikan. 

Seragam biru itu sebenarnya milik  pasangan kembar Kak Uti dan Kak Uli yang ibu pinjam untuk membuat pola baju jelang keberangkatan kami ke Jakarta untuk mengikuti festival anak kembar.

"Bu, masukkan saya TK nah Bu, kayak Ipa," rengek kami penuh harap pada ibu. Ipa adalah nama sapaan untuk Rospa, sepupu yang tinggalnya bersebelahan dengan rumah kami di Kebun Sayur, Balikpapan. Seragam olahraga yang Ipa pakai berlogo TK Cempaka sepertinya melekat betul di kepala kami waktu itu. Angan untuk duduk di ruangan kelas dan melipat kertas origami berbentuk burung sayangnya sirna. Begitu juga keinginan untuk menatap kertas berbentuk buah-buahan yang tergantung veritkal di jendela kaca. 

"Langsung TPA aja gin. Nanti langsung SD. Belajar ngaji dulu, itu yang penting!" sambar ibu. 

Mengenakan baju biru sore itu rasanya lebih dari sekedar cukup. Ya, meski hanya bisa menghayal jadi murid TK yang disayang guru, kami sudah cukup bahagia.

Lebih Mudah Belajar Huruf Hijaiyah Ketimbang Huruf Alfabet
Ketika menginjak usia 3 tahun, ibu mulai mendaftarkan kami ke TPA atau Taman Pendidikan Agama. Kami masih ingat nama sekolah tempat kami menimba ilmu agama, TPA Misbahussudur. Letaknya tidak begitu jauh dari rumah kami, kira-kira 4 kilometer. 

Melewati jalan beralaskan ulin, roda vespa yang berputar memunculkan suara gesekan antar papan kayu yang satu dengan lainnya. Suara yang khas di kawasan perkampungan air di Kampung Baru. Di atas vespa kami dibonceng ibu, yang satu berdiri menghadap stang vespa sementara yang satu lagi duduk di kursi belakang. Tak ada rasa takut waktu itu, padahal tepat di bawah kami ada air laut yang bisa naik dan turun kapan saja. 

Guru kami, Paman Haji Nanang Saad Ijaz menyambut kedatangan kami dengan baik, sama dengan murid-murid baru lainnya. Kami saling mengenal satu sama lain, kami juga diajarkan membaca doa dan mengucapkan salam di awal dan akhir pertemuan. Ajaran sopan santun dan menghormati guru serta orang yang lebih tua sudah pasti menjadi bahan ceramahan kami selama duduk di meja panjang setinggi 30 cm.

Entah kenapa paman Haji Nanang memilih pindah lokasi mengajar, yang pasti kepindahan itu langsung membuat ibu segera memutuskan untuk membawa kami ke sekolah baru ke tempat di mana paman mengajar. Pada akhirnya kami pun terdaftar menjadi murid baru di TPA Darul Hikmah Kampung Baru bersama guru mengaji kami, Paman Haji Nanang.

Di TPA Darul Hikmah sistem menggaji diterapkan dengan mendatangi tempat duduk murid satu per satu. Siapa yang paling lancar membacanya, maka dialah yang akan paling cepat naik tingkat. Buku penilaian mengaji yang dipegang oleh masing-masing murid menjadi acuan prestasi yang dicapai dari waktu ke waktu. Mulai dari Iqra 1 sampai Iqro 6 kami jalani dengan lancar. Alhamdulillah, berkat doa dan dukungan ibu dan bapak kami bisa dengan cepat naik tingkat menuju Al Qur'an. 

Bersama Febri, Ibnu, Mega kami selalu pulang dengan tertib mencium tangan para pengajar seraya mengucap salam perpisahan. Rutinitas yang pasti kami lakukan ketika datang dan juga pergi. Di bangku TPA inilah kami banyak menghapal doa-doa. mulai dari doa makan dan minum, doa tidur dan bangun tidur, doa keluar dan masuk wc, serta surah-surah pendek lainnya. 

Kebiasaan yang ditanamkan oleh guru kami selain membaca adalah menulis tulisan Arab. Menulis membuat ingatan semakin melekat, seperti halnya Senandung Al Qur'an yang ditorehkan menggunakan kapur di atas papan tulis berlatar hitam. Senandung Al Quran atau Khotmil Quran bertulsikan Arab kami nyanyikan bak senandung pertanda penutup perjumpaan tiap sore. 


Allahummarhamna bil quran. Waj’alhulanna imaaman wa nuuran wa huda wa rohmah. Allahumma dzakkirna minhu maa nusiina wa’allimna minhu maa jahiilna. Warzuqna tilaawatahu aana al laili wa athro fannahaar. Waj’alhulanna hujjatan yaa rabbal ‘alamin.

Ya allah berilah kasih sayangmu kepada kami dengan al-quran. Dan jadikanlah al-quran sebagai pemimpin, dan sebagai cahaya, dan petunjuk dan rahmat bagi kami. Ingatkanlah kami, seandainya kami di lupakan dari ayat-ayat al-quran. Wa’allimna minhu maa jahiilna dan ajarilah apa-apa yang kami belum tahu dari isinya.

Dita Faisal
Dita Faisal Mengawali karir sebagai jurnalis sejak 2008 di TVRI Nasional. Setahun kemudian bergabung di tvOne sebagaireporter dan presenter berita hingga Feb 2021. Pernah meraih Fellowship hingga ke Jepang dan menjadi wartawan Istana Kepresidenan pada 2014-2015. Setelah 13 tahun menjadi jurnalis, pada pertengahan 2021 memutuskan pindah ke Blitar dan Wonosalam untuk lebih dekat dengan alam. Seperti cita-cita, ingin menikmati waktu dengan berbagi dan bertani. It's time for #BacktoNatureBacktoVillage

Posting Komentar untuk "Pengen Masuk TK tapi Malah Dimasukkan TPA"